Wednesday 21 January 2015

Pendekar Ayu dan Pangeran Dewo (Part 4)

Part 4

Sang Pembaca


Senyum itu memang menjadi pembuka yang seakan-akan melunturkan mitos mengerikan di wilayah ini. Akan tetapi, indahnya senyuman itu hanya mekar beberapa menit saja. Setelah itu, ekspresi datar mulai nampak diwajahnya. Perempuan itu langsung berniat pergi dari dirinya. Dewo buru-buru mencekalnya.

“Maaf, mungkin saya lancang mencegahmu seperti ini. Tapi saya seorang pendatang yang kelelahan karena perjalanan saya yang begitu jauh. Sekiranya nona bisa memberitahukan kepada saya dimana tempat peristirahatan terdekat disini?” ujar Dewo dengan sangat hati-hati.

Perempuan itu akhirnya menghentikan upayanya untuk beranjak dari tempat itu. Suasana tiba-tiba menghening. Perempuan itu hanya menatap Dewo tanpa bicara tanpa sepatah kata pun. Tatapan matanya seakan merasuk kedalam relung jiwa Dewo. Apa yang hendak dicarinya? tanya Dewo dalam hati.

“Apa yang menggiringmu hingga tiba di pelosok ini, Kisanak?” Perempuan tampak sangat serius dengan ucapannya. Dewo sendiri tidak yakin untuk mengatakan tujuan yang sebenarnya dari pengembaraannya kali ini. Sedikit ia kaburkan alasan kedatangannya. “Saya hendak menuju ke desa diseberang san...” Belum selesai penjelasan itu, kalimat Dewo langsung dipatahkan oleh perempuan itu, “Tidak ada desa lagi diseberang sana. Jadi, apa maksud kedatanganmu ke pelosok ini, Kisanak?” Sorot matanya kian menajam.

Dewo tersudut, namun ia masih ragu apakah sosok ini akan membahayakan dirinya jika ia mengutarakan niatan aslinya datang kemari. “Percuma saja kau berkelit. Lebih baik katakan maksud dan tujuanmu yang sebenarnya? Apa yang hendak kau cari?” Perempuan itu lalu terdiam sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Dewo seakan membatu dengan tatapan yang kian memangsa.

Namun, entah mengapa ekspresi perempuan itu perlahan berubah waspada. Matanya kini mulai tidak fokus, melirik kesana kemari mengikuti indera pendengarannya. Kemudian, Dewo ditatapnya dengan lekat. “Cepat bersembunyi. Pergilah ke tempat ini segera.” Dewo kebingungan mendapati dirinya diberikan sebuah gulungan peta. “Masuk ke gubuk tua yang ada ditepi sungai. Jangan keluar sebelum saya datang. Saya akan segera menyusulmu. Cepat!” Dewo akhirnya memilih mengikuti kata hatinya untuk mengiyakan semua perintah perempuan itu tanpa membantah sedikit pun.

Dewo bergegas menunggangi kudanya untuk meninggalkan tempat itu menuju kemana dirinya diharuskan bersembunyi. Dewo terus-menerus memaksa kudanya untuk mempercepat laju larinya. Begitu dilihatnya aliran sungai, Dewo perlahan menyusurinya. Tepat seperti yang dikatakan oleh perempuan itu, sebuah gubuk tua berdiri tegak ditepi sungai. Gubuk tua itu semacam bekas gudang. Cukup besar, bahkan sanggup menampung beberapa ekor kuda didalamnya. Tanpa pikir panjang, Dewo segera masuk kedalam, tak lupa kudanya dibawa ikut serta untuk bersembunyi. Bersembunyi? Tapi menurutnya lebih tepat jika dikatakan berdiam diri hingga sosok perempuan tadi datang menjemputnya disini.

Sementara itu, perempuan yang menyuruh Dewo bersembunyi, tengah kedatangan pasukan Kerajaan Teratai Putih. “Wahai Caraka Nawa, apa yang sedang engkau lakukan disini?” tanya seseorang yang berada di deretan paling depan rombongan itu kepada perempuan itu. “Salam hormat kepada Panglima Anaga.” Perempuan itu membungkukkan badannya seraya memberi hormat. “Hamba hanya sekedar berkeliling mencari dedauan untuk keperluan para tabib kerajaan.” lanjutnya.

“Lanjutkanlah pekerjaanmu, Caraka Nawa. Aku hendak menyisir daerah perbatasan kerajaan bersama pasukanku. Jangan lupa, datanglah besok untuk menghadapku. Ada sesuatu yang penting yang ingin kusampaikan padamu.” Seru Panglima Anaga. “Baik, Panglima.” ujar perempuan itu dan lalu kembali membungkuk memberi hormat. Panglima Anaga dan pasukannya akhirnya meninggalkan tempat itu.

Perempuan itu menunggu kemana Panglima Anaga dan pasukannya melanjutkan perjalannannya. Hal ini semata-mata dilakukannya untuk memastikan kemana arah perjalanan mereka. Apakah mereka akan bergerak ke arah sungai atau tidak. Setelah didapat kepastian bahwa mereka tidak akan mendekati sungai, perempuan itu lekas menyusul ke tempat persembunyian Dewo. Ditarik dan langsung ditunggangi kudanya dengan kencangnya menuju gubuk tua di tepi sungai sana.

Setibanya di gubuk tua itu, Perempuan itu hendak membuka pintu, namun terkunci dari dalam. Lantas ia mengetuk pintu didepannya dengan hati-hati. “Kisanak, bukalah pintunya. Ini saya... orang yang tadi menyuruhmu bersembunyi disini.” sahutnya pelan. Terdengar langkah kaki dari dalam gubuk yang semakin mendekat ke arah pintu. Lalu, pintu itu dibukakan oleh Dewo. Kalimat pertama yang meluncur dari mulut perempuan itu adalah... “Kau baik-baik saja, Kisanak?”

Dewo kebingungan, dahinya mengkerut mendengar pertanyaan itu. “Saya baik-baik saja. Memang ada apa? Apakah di luar tadi terjadi sesuatu? Apakah ada yang membahayakanmu Nona? Katakan saja biar nanti kubantu.” Ganti Dewo memburu perempuan itu dengan pertanyaannya. Perempuan itu justru tertawa kecil, “Tidak, saya tidak apa-apa. Saya hanya ingin menyelamatkanmu dari mereka.” Ujar perempuan itu singkat. “Mereka? Siapakah gerangan ‘mereka’ yang nona maksud?” lagi-lagi Dewo dibuatnya heran dengan pernyataan-pernyataan yang serba menggantung.

“Sudahlah, beristirahatlah dulu. Kisanak tadi bilang sedang kelelahan, kan? Kau bisa beristirahat disini. Setelah kau pulih dari rasa letihmu, akan saya ceritakan mengapa tadi saya memintamu bersembunyi disini.” tandasnya mantap. “Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud lancang. Saya rasa tidak pantas selalu memanggilmu tanpa tahu siapa namamu. Tak keberatan kan jika saya mengetahui nama nona?” seru Dewo berhati-hati. Perempuan itu terdiam seperti berpikir. Dewo buru-buru menyelak, “Tapi jika nona tidak berkenan juga tidak mengapa. Saya tidak akan memaksa.”

“Kau bisa memanggil saya dengan nama ayu. Ayo, beristirahatlah. Saya akan membuatkan sesuatu yang bisa kau santap setelah kau bangun nanti.”  Jawab Ayu. Dewo mengangguk dan mengambil tempat di salah satu sudut gubuk tua tersebut. Dewo mulai memejamkan matanya, namun matanya kembali terbuka. “Ayu...” dipanggilnya ayu dengan hati-hati. Ayu yang baru saja ingin beranjak pergi terpaksa menghentikan langkahnya dan menyahuti panggilan Dewo “Ya, Kisanak. Ada apa?” Dewo tersenyum, “Panggil saja saya Dewo.”


“Ya, Dewo. Ada apa?” Ayu mengulangi pertanyaannya. “Tidak, saya hanya ingin berterima kasih atas bantuanmu hari ini. Terima kasih.” ujar Dewo. Ayu mengangguk paham. “Beristirahatlah. Kalau ada apa-apa saya ada di belakang.” Ayu meninggalkannya menuju dapur. Dewo lalu menutup matanya kembali dan mulai terlelap. Sementara Ayu masih memandanginya dari balik tembok dan berujar dalam hatinya, Tak seharusnya kubiarkan ia berada ditempat ini... tapi ia harus tetap ada disini hingga datang satu peristiwa... ia harus tetap ada... ia kunci dari segala kunci meski entah apa.

Saturday 18 October 2014

Pendekar Ayu dan Pangeran Dewo (Part 3)

Part 3

Jejak Kaki Kuda dan Senyum Sang Penunggang

Dewo kembali membaca surat dari Nimas. Berkali-kali keningnya mengernyit, memikirkan sesuatu. Sepertinya Kerajaan Teratai Putih yang dimaksud cukup bersahabat ditelinga. Kerajaan itu memang tidak jauh dari tempat tinggalnya kini. Hanya saja, jika tidak salah mengingat... Mendiang Bopoknya pernah berpesan untuk tidak mendekati kerajaan tersebut.

Ada semacam mitos mengerikan yang berkembang di masyarakat luas ketika ada orang luar yang mencoba menerobos kerajaan tersebut. Dewo mengingat-ingat kembali kutukan yang pernah didengarnya terkait dengan mitos tersebut, “Orang Baru Membatu Orang Lama Memangsa.” Dewo menggangguk seraya membenarkan ucapannya sendiri.

Tapi surat dari Nimas bukan sembarang surat yang bisa dengan seenaknya diabaikan. Surat ini titah. Sebuah amanah. Jadi, sudah bisa dipastikan Dewo harus turun tangan menyelidiki lahan pertanian yang ada disana. Dewo segera berkemas. Dibawanya sedikit makanan untuk perbekalan selama di perjalanan. Sebuah peta pun tak ketinggalan dibawa bersamanya. Dan yang terakhir, Dewo menyiapkan kuda kesayangannya.

Perjalanan pun dimulai. Dewo menunggangi kudanya menyusuri jalan menuju ujung dari Desa Ilalang. Pemandangan pertama yang tersaji dihadapannya adalah sebuah sungai yang jernih tapi dangkal. Dengan mudahnya kuda Dewo menyeberangi sungai tersebut. Desa demi desa Dewo lewati. Semakin mendekati wilayah Kerajaan Teratai Putih, semakin besar hembusan cerita terkait dari mitos mengerikan bagi para pendatang. Setiap kali menjawab keingin-tahuan orang-orang – yang berpapasan di jalan – tentang kemana tujuan dari perjalanannya, ekspresi yang muncul dari mereka adalah tatapan kaget. Keterkejutan yang ditampilkan selalu menghentikan mereka untuk bertanya lebih lanjut kepada Dewo. Tapi Dewo enggan menanggapi reaksi mereka atau bahkan sekedar bertanya atas mitos itu.

Dewo kembali melanjutkan perjalanannya. Memasuki sebuah hutan yang seperti jarang dilewati oleh orang. Bisa jadi karena adanya mitos di kerajaan ini, maka para pendatang mengurungkan niatnya untuk berkunjung kesini. Di dalam hutan ini, Dewo mendapati sebuah batu besar yang terukir diatasnya sebuah tulisan: DAERAH KEKUASAAN KERAJAAN TERATAI PUTIH. Dewo sadar bahwa dirinya ternyata sudah masuk kedalam wilayah Kerajaan Teratai Putih. Dewo harus semakin berhati-hati. Ditingkatkannya kewaspadaan.

Tak lama setelah melewati batu besar itu, Dewo menemukan jejak kaki kuda lain selain jejak kuda miliknya. Lalu Dewo mencoba mengikuti kemana jejak kaki kuda tersebut akan berhenti. Perlahan tapi pasti, kuda Dewo akhirnya membawa dirinya semakin masuk ke dalam jantung hutan. Dilihatnya seekor kuda hitam sedang diistirahatkan. Sepertinya, itu kuda yang jejak kakinya Dewo ikuti. Jejak kaki kuda itu tak lagi tak bertuan. Seorang perempuan yang tengah memetik beberapa lembar daun nampaknya penunggang kuda hitam itu.

Dewo lantas turun dari punggung kudanya, tapi pijakan pertama Dewo di tanah ternyata mengusik perempuan diseberang sana. Perempuan itu menoleh dan langsung bersiaga terhadap calon penganggunya. “Maaf kalau saya mengusikmu. Sungguh saya tak bermaksud seperti itu.” permintaan maaf itu mengalun dari bibir Dewo.

Sontak antisipasi perempuan itu luntur seketika, ketika melihat sosok Dewo jauh dari kesan jahat ataupun penuh dengan embel-embel ancaman. Perempuan itu lalu tersenyum menyapanya. Ganti Dewo terdiam melihat sosok perempuan yang tengah menyuguhkan senyum untuknya. Senyum yang menenangkan. Seperti senyum para bidadari di khayangan. Dewo tertegun, makin terpesona. Perempuan itu begitu ayu, batinnya. 

Tuesday 9 September 2014

Pendekar Ayu dan Pangeran Dewo (Part 2)

Part 2

Desa Ilalang dan Permohonan Sang Ratu 

Fajar pagi sudah mulai menyingsing di Desa Ilalang. Sayup-sayup bunyi kokokan ayam membangunkan Dewo yang tengah terlelap tidur. Perlahan matanya dibuka. Dipaksakan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Entah ini sudah minggu ke berapa dia berkabung. Setiap harinya Dewo harus mewaraskan pikirannya dan berkali-kali menyahut kapada dirinya sendiri bahwa Bopoknya sudah tidak lagi menjadi bagian nyata di dalam kehidupan ini.

Dewo beranjak menuju bale di depan rumahnya sambil menenteng sepiring penuh ganyong yang hendak disantapnya. Dewo duduk dan mulai menyantap hidangannya itu. Tak lama kemudian, terdengar bunyi tapak kuda yang bergerak cepat kearahnya. “Siapa kiranya pagi-pagi memacu kuda dengan begitu cepat?” gumamnya seraya melongokkan kepala ke asal suara.

Beberapa orang mulai nampak terlihat menunggangi kudanya dan terus bergerak maju kerumahnya. Ternyata rombongan berkuda itu adalah tamu untuknya. Kuda-kuda tersebut lantas dihentikan oleh para penunggangnya. Salah satu diantara mereka turun dan membawakan sebuah gulungan untuk Dewo, “Kami membawa surat dari Ratu Nimas Naratih untuk Yang mulia Pangeran Dewo.” Dewo lekas mengambil gulungan surat itu dari tangan sang pengawal. Buru-buru membuka dan membaca isinya.

Tertanda untuk Kang Mas Dewo,

Apa kabarmu disana, Kang mas? Semoga kesedihanmu atas meninggalnya Paman Arji sudah kian surut. Aku dengar bahwa pada akhirnya kang mas memilih untuk menetap di Desa Ilalang. Aku cukup terkejut mendengarnya, meskipun begitu... aku yakin bahwa kang mas memiliki alasan khusus dan aku menghormati keputusan kang mas. Namun, jika kang mas ingin pulang. Kerajaan ini akan selalu menjadi rumahmu.

Kang mas, ada yang harus kuberitahukan kepadamu. Tak jauh dari Desa Ilalang terdapat sebuah Kerajaan yang bernama Teratai Putih. Dari kabar burung yang kudengar, kerajaan itu memiliki lahan pertanian yang sangat bagus. Bisakah aku meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya? Jika kabar itu benar, bisakah kau mengamatinya lebih lanjut untukku? Aku sangat ingin menerapkan hal yang serupa pada Kerajaan Elang Putih. 

Terima kasih Kang Mas... Aku dan Kang Mas Sapardi selalu mendoakanmu dari sini.

Dewo menggulung kembali surat tersebut. Secuil senyum mulai tersungging di sudut bibirnya. Sebentuk senyum yang meremehkan dirinya sendiri. Bahkan hingga kini, Dewo masih belum sepenuhnya bisa melupakan perempuan yang paling dicintainya itu. Ya, bayangan Nimas Naratih memang ternyata masih berada direlung hatinya.

Dan itu membuat dirinya tidak bisa untuk menolak permohonan bantuan itu. Dewo menyanggupi permintaan Nimas Naratih. Maka, dia tuliskan balasan surat. “Berikan ini kepada yang mulia ratu.” ujarnya mengulurkan surat balasan itu kepada para pengawal dihadapannya. Sang pengawal pun menerima dan langsung beranjak pergi dari kediaman Dewo.

Friday 29 August 2014

Pendekar Ayu dan Pangeran Dewo (Part 1)

Part 1

Permulaan Dunia Dewo 

Setelah berakhirnya Perang Angin Utara, Kerajaan Elang Putih kembali berjaya. Ditangan Ratu Nimas Naratih (Nyai Dempul) dan  Raja Sapardi (Pangeran Dekik), kerajaan tersebut menemukan kembali kedamaiannya sebagaimana dahulu kala ketika mendiang Raja Adipta masih memegang tampuk kekuasaan. Sementara itu, Raja Arji harus menerima hukuman atas apa yang telah dilakukannya yaitu dengan melepaskan status rajanya dan diasingkan. Pasca kedua hal itu diberlakukan, keadaan Raja Arji jauh dari kata penuh kekuatan karena diasingkan tanpa satu orang anak buah pun, kecuali Pangeran Dewo yang memilih untuk menemaninya pada kondisi tersulit yang nampaknya terus menggerogoti kondisi kesehatannya.

Tempat pengasingan yang menjadi rumah mereka kini ternyata bukanlah suatu tempat yang mengerikan layaknya anggapan yang berkembang dari orang-orang. Beruntunglah Ratu Nimas Naratih mewarisi kebijaksanaan dari mendiang Raja Adipta sehingga Raja Arji diasingkan di suatu tempat yang tidak terlalu buruk walaupun keberadaannya sangat jauh dari Kerajaan Elang Putih. Ya, Pangeran Dewo telah memohon kepada Ratu Nimas Naratih sebelum titah hukuman itu dijatuhkan kepada bopoknya, dia meminta agar diberikan sebuah tempat yang tetap dalam koridor manusiawi sebagai tempat pengasingan untuk bopoknya.

Selama masa pengasingan itu, Raja Arji memang banyak berubah. Ada sisi baru dari Raja Arji yang muncul dan membuat Pangeran Dewo bahagia. Pangeran Dewo mendapatkan sosok bopok yang diidamkannya sejak dulu. Sosok bopok yang arif dan bijaksana sebagaimana sosok yang selalu dilihatnya dari Raja Adipta, bopok dari Ratu Nimas Naratih. Bagi Pangeran Dewo, masa yang paling berharga adalah dimana dirinya sebagai seorang anak yang dapat menemani bopok tercintanya tanpa pernah memikirkan apakah ini akan jadi saat-saat terakhir antara dirinya dengan sang bopok atau tidak. Meskipun begitu, Pangeran Dewo merasa sangat bersyukur karena pernah diberikan kesempatan berharga itu.

Sebelum Raja Arji meninggal, banyak waktu yang sempat dihabiskan oleh Pangeran Dewo bersama sang bopok. Mereka berjalan dipadang rumput indah, melihat kelangit. Bahkan sering sekali sang bopok tertegun dan seraya mengungkapkan penyesalannya pada apa yang telah dilakukannya selama ini. “Maaf, jika bopok pernah membuangmu ke satu tempat yang sangaaat jauh dengan dalih agar kau mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan di Kerajaan Elang Putih, padahal sebenarnya bopok ingin memisahkanmu dengan Nimas Naratih. Bopok berpikir bahwa jika kau masih ada disana ketika bopok melakukan kudeta pada pemerintahan Raja Adipta, kau mungkin bisa jadi penghalang bopok. Tapi kenyataannya, tekadmu menghalauku kian kentara dan justru ditanganmulah bopok kalah. Dan sekarang bopok menyadari bahwa membuangmu disana ternyata adalah kesalahan terbesar bopok. Bopok minta maaf karena tidak pernah menjadi seseorang yang bisa kau banggakan. Kelak, jika bopok mati nanti, kenang bopok di waktu ini. Di saat bopok bisa menjadi sosok bopok yang membuatmu jauh lebih baik. Gandewo Bandiman Bayu, anakku... bopok bangga padamu. Kelak jadilah manusia yang bisa memanusiakan manusia lain disekitarmu.”

“Bopok, jangan bicara seolah-olah kau akan pergi jauh dan meninggalkanku sendiri.” ujar Pangeran Dewo yang berubah khawatir. “Nak, kau tidak akan sendirian meski bopok mati. Kelak, kau akan menemukan perempuan yang menemanimu, bagaimanapun keadaanmu. Perempuan itu akan berdiri sebagai pihak yang selalu percaya padamu meski kau sendiri ragu pada dirimu. Bopok yakin dia bukan perempuan biasa. Dia pasti sama sepertimu, seorang yang berjiwa pelindung. Kau akan bahagia bersamanya. Kelak jika kau sudah bertemu dengannya, kau akan melihat jiwa yang lembut yang terbalut tekad sekuat baja. Dialah nanti perempuan ayumu dan dia akan menjagamu selamanya.” Itulah pesan terakhir Raja Arji yang tidak akan pernah dilupakan oleh Pangeran Dewo.    

Kini Raja Arji telah menyatu kembali kedalam tanah, pergi meninggalkan kehidupan ini. Yang tersisa adalah kenangan-kenangan terakhir yang indah meski hanya Pangeran Dewo yang menjadi saksinya. Dalam setiap doanya, semoga serentetan kekhilafan yang pernah dilakukan oleh Bopoknya bisa dimaafkan Tuhan melalui pengasingan yang telah dijalani di sisa hidupnya. Dan untuk itulah, Pangeran Dewo akhirnya memilih untuk tetap berada ditempat pengasingan dan melanjutkan hidup.

Dongeng: “Permulaan Dunia Dewo” – Tamat (Bersambung ke seri Pendekar Ayu dan Pangeran Dewo selanjutnya)

Monday 30 June 2014

Si Kecil Sekolah

Ditulis 11 Juli 2011

Dengan badan yang terbilang kecil... Digembloglah tas sekolahnya yang ukurannya lebih besar dari badannya... Sesekali terhuyung kebelakang karena isi tasnya yang penuh.

Dibalik pintu keluar sudah ada ibu yang selalu berdandan rapi untuk mengantarkannya. Di salah satu tangannya menggenggam payung lipat berwarna coklat. Warna kesukaan sang bidadari kecilnya.

"Ayo, Nak. Matahari sudah tampaknya tak malu-malu menyinari. Hendak kita percepat langkah agar tidak terlambat masuk sekolah."
Sang anak melempar senyum, "Ayo, Bu."

Sang ibu menggenggam tangan anaknya. Berjalan hati-hati... Sesekali memindahkan posisi anaknya jika arah laju mobil berada persis disebelahnya.

"Kamu lelah, Nak?" Tanya sang ibu ketika didengarnya nafas anaknya mulai tersengal-sengal.

"Tidak ibu. Aku tidak lelah. Aku sengaja mempercepat langkahku karena temanku pasti sudah menungguku." Anaknya menjawab sambil menolehkan kepalanya keatas, mensejajarkan mata dengan ibunya.

"Baiklah. Perhatikan langkahmu. Didepan banyak kerikil kecil. Meski kecil jika kamu tidak hati-hati. Kamu bisa jatuh, dan dengkulmu akan luka seperti dulu."

"Iya. Ibu juga jangan melonggarkan genggaman tangan ibu. Jika nanti kita melewati pasar yang padat didepan nanti dan genggaman tangan ibu longgar, maka aku akan terlepas dan tertinggal dibelakang. Sulit untuk aku menemukanmu, Bu."

"Baiklah, Nak."

"Ayo, Bu. Matahari sudah sedemikian terik. Aku malu melihat semangat pijarnya yang lebih terang dibandingkan semangatku pagi ini."

Begitulah...

Kaum Jalanan

Ditulis 27 Juli 2011

Dunia tidak akan tahu berapa besar optimistis kaum jalanan
Tanah yang dijunjung kaum kapitalis tak menyurutkan hasrat berbahagia kami
Berbahagia hak mutlak manusia
Tidak bisa di curi, tidak pula di beli, hanya di rasa
Disini... di dalam hati dari kami - kami yang tinggal di jalanan atau kolong jembatan

Oh, kaum ningrat...
Meski tak sedarah, meski tak sekasta
Tapi kami manusia, punya mimpi dihormati walau darah tak sebiru kalian
Dihormati karena penghargaan atas pencapaian kami
Bukan karena sisa-sisa picingan mata jijik dan rasa kasihan

Oh... Dunia kami dunia jalanan
Tidur menghadap kelangit penuh bintang
Beralas tikar daun kering dan pelepah pisang sedikit debu
Cukup nyaman meski kerap kali di belai semut dan di cium nyamuk
Sungguh nikmat bentol yang kami garuk

begitulah...

Drama Kemacetan

Ditulis 7 Juli 2011


Lagi-lagi mobil merapat bagai rayap... Tak segan-segan bus besar pun saling adu body... 

Lampu merah benar-benar menyala menyulut gelagat yang sudah letih di balik kemudi... Marah... 

Dengan mimik muka yang tertahan... 

Jangan marah... Karena tetap akan seperti itu... Terjebak rutinitas... 

Adapula beberapa wanita rapih berhak tinggi... Duduk dengan segala gengsi dan perhiasan mentereng... Melihat dengan sudut mata yang kian menyipit... Didepannya tengah ada pengamen bermodal tepukan tangan dan suara seperti habis menenggak secawan arak yang memabukkan... 


"Hei, jangan berorasi di depan wajahku... Hanya melunturkan riasan yang sudah kusapu berjam-jam saja." 

Sang pengamen berkata, "Maaf, Bu. saya tidak sedang berorasi. Tapi bernyanyi." 

"Panggil saya NYONYA. Karena saya tidak pernah menjadi ibumu. Mengapa bernyanyi tanpa nada." 

"Maafkan saya, Nyonya. Kalau anda tidak berkenan. Saya hanya berusaha mengganjal perut. Dan saya juga mencoba berusaha menghibur anda ditengah kemacetan ini" 

"Huh..." 


Begitulah...