Sang Pembaca
Senyum
itu memang menjadi pembuka yang seakan-akan melunturkan mitos mengerikan di
wilayah ini. Akan tetapi, indahnya senyuman itu hanya mekar beberapa menit
saja. Setelah itu, ekspresi datar mulai nampak diwajahnya. Perempuan itu langsung
berniat pergi dari dirinya. Dewo buru-buru mencekalnya.
“Maaf,
mungkin saya lancang mencegahmu seperti ini. Tapi saya seorang pendatang yang
kelelahan karena perjalanan saya yang begitu jauh. Sekiranya nona bisa
memberitahukan kepada saya dimana tempat peristirahatan terdekat disini?” ujar
Dewo dengan sangat hati-hati.
Perempuan
itu akhirnya menghentikan upayanya untuk beranjak dari tempat itu. Suasana
tiba-tiba menghening. Perempuan itu hanya menatap Dewo tanpa bicara tanpa
sepatah kata pun. Tatapan matanya seakan merasuk kedalam relung jiwa Dewo. Apa yang hendak dicarinya? tanya Dewo
dalam hati.
“Apa
yang menggiringmu hingga tiba di pelosok ini, Kisanak?” Perempuan tampak sangat
serius dengan ucapannya. Dewo sendiri tidak yakin untuk mengatakan tujuan yang
sebenarnya dari pengembaraannya kali ini. Sedikit ia kaburkan alasan
kedatangannya. “Saya hendak menuju ke desa diseberang san...” Belum selesai
penjelasan itu, kalimat Dewo langsung dipatahkan oleh perempuan itu, “Tidak ada
desa lagi diseberang sana. Jadi, apa maksud kedatanganmu ke pelosok ini,
Kisanak?” Sorot matanya kian menajam.
Dewo
tersudut, namun ia masih ragu apakah sosok ini akan membahayakan dirinya jika
ia mengutarakan niatan aslinya datang kemari. “Percuma saja kau berkelit. Lebih
baik katakan maksud dan tujuanmu yang sebenarnya? Apa yang hendak kau cari?”
Perempuan itu lalu terdiam sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Dewo
seakan membatu dengan tatapan yang kian memangsa.
Namun,
entah mengapa ekspresi perempuan itu perlahan berubah waspada. Matanya kini mulai
tidak fokus, melirik kesana kemari mengikuti indera pendengarannya. Kemudian,
Dewo ditatapnya dengan lekat. “Cepat bersembunyi. Pergilah ke tempat ini
segera.” Dewo kebingungan mendapati dirinya diberikan sebuah gulungan peta.
“Masuk ke gubuk tua yang ada ditepi sungai. Jangan keluar sebelum saya datang.
Saya akan segera menyusulmu. Cepat!” Dewo akhirnya memilih mengikuti kata
hatinya untuk mengiyakan semua perintah perempuan itu tanpa membantah sedikit
pun.
Dewo
bergegas menunggangi kudanya untuk meninggalkan tempat itu menuju kemana
dirinya diharuskan bersembunyi. Dewo terus-menerus memaksa kudanya untuk
mempercepat laju larinya. Begitu dilihatnya aliran sungai, Dewo perlahan menyusurinya.
Tepat seperti yang dikatakan oleh perempuan itu, sebuah gubuk tua berdiri tegak
ditepi sungai. Gubuk tua itu semacam bekas gudang. Cukup besar, bahkan sanggup
menampung beberapa ekor kuda didalamnya. Tanpa pikir panjang, Dewo segera masuk
kedalam, tak lupa kudanya dibawa ikut serta untuk bersembunyi. Bersembunyi? Tapi
menurutnya lebih tepat jika dikatakan berdiam diri hingga sosok perempuan tadi
datang menjemputnya disini.
Sementara
itu, perempuan yang menyuruh Dewo bersembunyi, tengah kedatangan pasukan
Kerajaan Teratai Putih. “Wahai Caraka Nawa, apa yang sedang engkau lakukan
disini?” tanya seseorang yang berada di deretan paling depan rombongan itu
kepada perempuan itu. “Salam hormat kepada Panglima Anaga.” Perempuan itu
membungkukkan badannya seraya memberi hormat. “Hamba hanya sekedar berkeliling
mencari dedauan untuk keperluan para tabib kerajaan.” lanjutnya.
“Lanjutkanlah
pekerjaanmu, Caraka Nawa. Aku hendak menyisir daerah perbatasan kerajaan
bersama pasukanku. Jangan lupa, datanglah besok untuk menghadapku. Ada sesuatu
yang penting yang ingin kusampaikan padamu.” Seru Panglima Anaga. “Baik,
Panglima.” ujar perempuan itu dan lalu kembali membungkuk memberi hormat.
Panglima Anaga dan pasukannya akhirnya meninggalkan tempat itu.
Perempuan itu menunggu kemana Panglima Anaga dan pasukannya melanjutkan perjalannannya. Hal ini semata-mata dilakukannya untuk memastikan kemana arah perjalanan mereka. Apakah mereka akan bergerak ke arah sungai atau tidak. Setelah didapat kepastian bahwa mereka tidak akan mendekati sungai, perempuan itu lekas menyusul ke tempat persembunyian Dewo. Ditarik dan langsung ditunggangi kudanya dengan kencangnya menuju gubuk tua di tepi sungai sana.
Setibanya
di gubuk tua itu, Perempuan itu hendak membuka pintu, namun terkunci dari
dalam. Lantas ia mengetuk pintu didepannya dengan hati-hati. “Kisanak, bukalah
pintunya. Ini saya... orang yang tadi menyuruhmu bersembunyi disini.” sahutnya
pelan. Terdengar langkah kaki dari dalam gubuk yang semakin mendekat ke arah
pintu. Lalu, pintu itu dibukakan oleh Dewo. Kalimat pertama yang meluncur dari
mulut perempuan itu adalah... “Kau baik-baik saja, Kisanak?”
Dewo
kebingungan, dahinya mengkerut mendengar pertanyaan itu. “Saya baik-baik saja.
Memang ada apa? Apakah di luar tadi terjadi sesuatu? Apakah ada yang
membahayakanmu Nona? Katakan saja biar nanti kubantu.” Ganti Dewo memburu
perempuan itu dengan pertanyaannya. Perempuan itu justru tertawa kecil, “Tidak,
saya tidak apa-apa. Saya hanya ingin menyelamatkanmu dari mereka.” Ujar
perempuan itu singkat. “Mereka? Siapakah gerangan ‘mereka’ yang nona maksud?”
lagi-lagi Dewo dibuatnya heran dengan pernyataan-pernyataan yang serba
menggantung.
“Sudahlah,
beristirahatlah dulu. Kisanak tadi bilang sedang kelelahan, kan? Kau bisa
beristirahat disini. Setelah kau pulih dari rasa letihmu, akan saya ceritakan
mengapa tadi saya memintamu bersembunyi disini.” tandasnya mantap. “Maaf, Nona.
Saya tidak bermaksud lancang. Saya rasa tidak pantas selalu memanggilmu tanpa
tahu siapa namamu. Tak keberatan kan jika saya mengetahui nama nona?” seru Dewo
berhati-hati. Perempuan itu terdiam seperti berpikir. Dewo buru-buru menyelak,
“Tapi jika nona tidak berkenan juga tidak mengapa. Saya tidak akan memaksa.”
“Kau
bisa memanggil saya dengan nama ayu. Ayo, beristirahatlah. Saya akan membuatkan
sesuatu yang bisa kau santap setelah kau bangun nanti.” Jawab Ayu. Dewo mengangguk dan mengambil
tempat di salah satu sudut gubuk tua tersebut. Dewo mulai memejamkan matanya,
namun matanya kembali terbuka. “Ayu...” dipanggilnya ayu dengan hati-hati. Ayu
yang baru saja ingin beranjak pergi terpaksa menghentikan langkahnya dan
menyahuti panggilan Dewo “Ya, Kisanak. Ada apa?” Dewo tersenyum, “Panggil saja
saya Dewo.”
“Ya,
Dewo. Ada apa?” Ayu mengulangi pertanyaannya. “Tidak, saya hanya ingin
berterima kasih atas bantuanmu hari ini. Terima kasih.” ujar Dewo. Ayu
mengangguk paham. “Beristirahatlah. Kalau ada apa-apa saya ada di belakang.” Ayu
meninggalkannya menuju dapur. Dewo lalu menutup matanya kembali dan mulai
terlelap. Sementara Ayu masih memandanginya dari balik tembok dan berujar dalam
hatinya, Tak seharusnya kubiarkan ia
berada ditempat ini... tapi ia harus tetap ada disini hingga datang satu
peristiwa... ia harus tetap ada... ia kunci dari segala kunci meski entah apa.